Cinta
Menurut Psikologi
Triangular
Theory of Love adalah
sebuah teori yang membahas makna, aspek dan jenis-jenis cinta. Teori ini
dikemukakan oleh Sternberg dalam jurnal Psychological Review yang berjudul “A
triangular theory of love” pada tahun 1986.
Cinta, menurut Teori Segitiga Sternberg, terdiri dari
tiga aspek: keintiman, gairah, dan komitmen. Cinta yang sempurna adalah cinta
yang memenuhi dari ketiga aspek tersebut. Berikut adalah penjelasan dari
masing-masing aspek.
Gairah (passion)
cenderung terjadi pada awal hubungan, relatif cepat dan kemudian beralih pada
tingkat yang stabil sebagai hasil pembiasaan.
Keintiman (intimacy)
relatif lebih lambat dan kemudian secara bertahap bermanifestasi sebagai
meningkatkan ikatan interpersonal. Perubahan keadaan dapat mengaktifkan
keintiman, yang dapat menyebabkan intimacy menurun atau justru semakin naik.
Komitmen (commitment)
meningkat relatif lambat pada awalnya, kemudian berjalan cepat, dan secara
bertahap akan menetap. Ketika hubungan gagal, tingkat komitmen biasanya menurun
secara bertahap dan hilang.
Perkawianan
Pengertian
Kehidupan Perkawinan Sebenarnya apakah itu perkawinan? Secara hukum, dinyatakan
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1/1974, bab I, pasal 1 bahwa “Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
A. memilih pasangan
Proses ini
biasanya dimulai ketika mereka mulai memasuki masa usia dewasa muda, yaitu usia
20-an hingga 30-an. Hal ini merupakan suatu tugas perkembangan di masa ini
untuk menjalin suatu keintiman, mengembangkan kehidupan yang produktif dan
prokreatif, bahkan menikah dan membentuk keluarga (Erikson dalam Monte
& Sollod, 2003).
Pada
masyarakat yang memegang kuat nilai-nilai keislaman biasanya tidak memilih
pasangan melalui pacaran. Nilai pernikahan dalam Islam sebagai ibadah dan
ikatan perjanjian yang kuat di mata Allah menjadikan Islam membatasi tata cara
pergaulan antara laki-laki dan perempuan sebelum menikah. Islam melarang
pacaran karena akan mendekatkan seseorang kepada hal yang diharamkan Allah
sebelum menikah seperti berduaan, melakukan kontak fisik, menumbuhkan perasaan
cinta atau emosional dengan yang bukan mahram, yang semuanya dapat berakibat
buruk kepada orang itu sendiri (Al-Makassari, 2007).
Pacaran
tidak dilakukan, maka pencarian pasangan biasanya dilakukan melalui ta’aruf
dimana seseorang dibantu oleh orang lain atau lembaga yang dapat dipercaya
sebagai perantara untuk memilih pasangan sesuai dengan kriteria yang diinginkan
sebagai proses awal menuju pernikahan.
Proses ini
dilakukan tanpa interaksi yang intensif antara pasangan dan tidak
mengembangkan kelekatan fisik dan emosional sebelum benar-benar masuk ke dalam
ikatan pernikahan. Proses ini cenderung berlangsung singkat dan dijalani
tanpa diketahui banyak orang (Abdullah dalam Kusumastuti, 2006).
Pemilihan
pasangan dilakukan dengan menilai berbagai macam hal untuk mendapatkan
persamaan atau kecocokan. Sebagian besar orang cenderung memilih pasangan yang
tidak jauh berbeda usia, pendidikan, agama, kelas sosial, kesukuan, dan
sebagainya. Berdasarkan Stimulus-Value-Role Theory (Murstein dalam Bird
& Melville, 1994), seseorang biasanya pertama kali tertarik pada calon
pasangan melalui penampilan fisik, kedudukan sosial, reputasi, cara
berpakaian, dan sebagainya. Kemudian ia mulai mencari kecocokan dalam hal
nilai dan sikap terhadap agama, keyakinan, politik, pendidikan, prestasi, isu
lingkungan, dan sebagainya. Semakin banyak ketidaksamaan yang ditemui,
semakin mungkin hubungan tidak berlanjut.
Selanjutnya
seseorang akan mengevaluasi kecocokan dalam hal peran lawan jenis sebagai
pasangan, apakah tipe orang yang mendukung, bertanggung jawab dan
sebagainya. Penilaian ini biasanya didasarkan pada harapan dan nilai-nilai
seseorang terhadap tipe pasangan dan hubungan pernikahan yang
diinginkan.
Menurut Exchange
Theory, pemilihan pasangan juga dapat berlangsung dengan menilai seberapa
besar keunggulan dan seberapa kecil kekurangan yang ada pada pasangan dan
hubungan yang akan dibina. Enam hal yang biasanya dinilai adalah kasih
sayang, status, informasi, uang, harta, dan sikap melayani. Semakin besar
keunggulan atau kebaikan yang dapat diperoleh, semakin besar kemungkinan
hubungannya berlanjut. Hubungan yang setara biasanya lebih cenderung stabil dan
bertahan sepanjang waktu (Foa & Foa dalam Bird & Melville, 1994).
Interpersonal
Process Theory selain
menerima dua teori di atas, mengatakan bahwa proses interaksi yang dilalui dan
keterbukaan pasangan juga penting dalam pemilihan pasangan (Cate & Lloyd,
dalam Bird & Melville, 1994).
B. Hubungan dalam perkawinan
Ketika
pasangan memasuki kehidupan perkawinan, tidak berarti proses mengenal dan
memahami berhenti. Kadang, masa awal perkawinan merupakan masa penyesuaian diri
yang menyulitkan bagi pasangan suami-istri baru karena seringkali banyak
terjadi hal yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Ketika pacaran dulu,
mungkin calon istri tidak mengetahui bahwa calon suaminya tidak suka tidur
dengan lampu menyala, padahal si calon istri terbiasa tidur dengan lampu yang
terang karena si istri agak penakut. Hal ini bukan tidak mungkin akan sedikit
memancing keributan di awal tidur bersama.
Seringkali,
ketika hubungan perkenalan berlanjut menjadi hubungan romantis, pasangan mulai
berpikir apakah betul mereka saling mencintai,atau hanya karena tertarik secara
fisik, atau karena ‘nyambung’ ketika diajak ngobrol, atau karena merasa menemukan
kakak atau adik. Banyak pasangan yang kemudian menyadari bahwa pasangannya
adalah pasangan yang tepat untuk menjadi teman bicara, tetapi bukan ‘teman
hidup’-nya.
Pasangan
suami-istri yang sejati adalah pasangan yang saling terbuka. Ini berarti, hal
penting yang harus selalu ada dalam kehidupan perkawinan adalah komunikasi di
antara suami dan istri. Kebanyakan konflik yang muncul pada pasangan
suami-istri yang dapat berakhir pada perceraian adalah karena masalah
komunikasi. Pada masa berpacaran, biasanya pasangan memiliki khusus khusus
untuk selalu berduaan, saling berbagi cerita gembira maupun sedih, serta saling
memperbaiki kesalahan. Namun hal yang sama seringkali tidak terjadi ketika
pasangan sudah menikah dan memiliki anak.
Menurut
pendapat Dawn J. Lipthrott, LCSW seorang ahli psikoterapis dalam Perkawinan dan
Keluarga (18-19: 2010) mengatakan bahwa ada lima tahap perkembangan dalam
perkawinan.
Tahapan dalam perkembangan
perkawinan memang tidak terlihat signifikan atau jelas dan tahap demi tahap
juga tidak terbatas oleh waktu, seperti antar pasangan mempunyai waktu yang
berbeda dalam setiap tahapannya. Tetapi yang jelas tahapan ini bisa dirasakan
oleh pasangan masing-masing.
Adapun lima
tahapannya yaitu sebagai berikut:
Tahap
pertama: Romantic
Pada tahapan
ini biasanya dirasakan oleh pasangan yang baru saja menikah, setiap saatnya
penuh dengan rasa cinta, kasih sayang dan saling mengisi. Hampir setiap harinya
dalam tahap ini tidak ada perselisihan yang terjadi. Biasanya mereka juga
melakukan kegiatan secara bersama-sama.
Tahap
kedua: Dissapointment or distress
Pada tahap
kedua ini sudah mulai terjadi perselisihan karena salah satu diantara mereka
ada yang merasa paling benar yang pada ahirnya saling menyalahkan, marah,
kecewa dan lain sebagainya.
Posisi
seperti ini sangat rawan karena pasangan akan mengalihkan perhatiannya pada hal
lain seperti menjalin hubungan dengan orang lain yang dirasa nyaman,
mengalihkan perhatian sepenuhnya pada pekerjaan, anak dan hal-hal lain sehingga
tidak ada waktu untuk bersama lagi.
Bila keadaan
ini berlangsung secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama maka akan
berakibat pada perceraian.
Tahap
ketiga: Knowledge and Awareness
Setelah bisa
bertahan pada tahap kedua maka akan masuk pada tahap ketiga, pada tahap ini
pasangan akan berusaha untuk saling mengerti dan menghindari terjadinya konflik.
Biasanya
kalau pasangan sudah sampai pada tahap ketiga maka mereka akan sering mencari
informasi atau cara untuk kebahagiaan rumah tangga kepada siapa saja, bisa
tetangga, mengikuti seminar, membaca buku atau mungkin ke psikiater.
Tahap
keempat: Transformation
Tahap
berikutnya akan mengalami perubahan dikarenakan sudah mendapatkan cara atau
kiat-kiat dari pihak lain tentang kebahagiaan rumah tangga.
Sehingga
pasangan akan membuktikan bahwa dia adalah pasangan yang terbaik dan tidak
salah memilihnya. Pada tahap ini juga sudah terjadi perkembangan pemahaman
secara menyeluruh tentang perkawinan.
Tahap
kelima: Real Love
Tahap kelima
ini hampir seperti pada tahap pertama karena sudah mengerti tentang pemahaman
perkawinan secara menyeluruh maka mereka akan saling memberi dan menerima
keadaan pasangannya.
Cinta, kasih
sayang, saling memahami, saling memberi, saling berbagi, saling mengisi dan
saling melengkapi terjadi pada tahap ini. Di tahap ini sudah tidak ada lagi
saling menyalahkan dan keegoisan.
C. Penyesuaian dan Pertumbuhan dalam Perkawinan
Perkawinan tidak berarti mengikat pasangan sepenuhnya. Dua individu ini
harus dapat mengembangkan diri untuk kemajuan bersama. Keberhasilan dalam perkawinan
tidak diukur dari ketergantungan pasangan. Perkawinan merupakan salah satu
tahapan dalam hidup yang pasti diwarnai oleh perubahan. Dan perubahan yang
terjadi dalam sebuah perkawinan, sering tak sederhana. Perubahan yang terjadi
dalam perkawinan banyak terkait dengan terbentuknya relasi baru sebagai satu
kesatuan serta terbentuknya hubungan antarkeluarga kedua pihak.
Relasi yang diharapkan dalam sebuah perkawinan tentu saja relasi yang erat
dan hangat. Tapi karena adanya perbedaan kebiasaan atau persepsi antara
suami-istri, selalu ada hal-hal yang dapat menimbulkan konflik. Dalam kondisi
perkawinan seperti ini, tentu sulit mendapatkan sebuah keluarga yang harmonis.
Pada dasarnya, diperlukan penyesuaian diri dalam sebuah perkawinan, yang
mencakup perubahan diri sendiri dan perubahan lingkungan. Bila hanya mengharap
pihak pasangan yang berubah, berarti kita belum melakukan
penyesuaian. Banyak yang bilang pertengkaran adalah bumbu dalam sebuah
hubungan. Bahkan bisa menguatkan ikatan cinta. Hanya, tak semua pasangan mampu
mengelola dengan baik sehingga kemarahan akan terakumulasi dan berpotensi
merusak hubungan.
D. Perceraian dan Pernikahan Kembali
Pernikahan bukanlah akhir kisah indah, namun dalam perjalanannya,
pernikahan justru banyak menemui masalah. Banyak dari orang-orang yang
menikah pada akhirnya harus bercerai. Perceraian adalah berakhirnya
suatu pernikahan. Saat kedua pasangan tak
ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya,
mereka bisa memintapemerintah untuk
dipisahkan.
Faktor penyebab perceraian antara lain adalah sebagai berikut :
– Ketidakharmonisan
dalam rumah tangga
Alasan tersebut di atas adalah alasan yang paling kerap dikemukakan oleh
pasangan suami – istri yang akan bercerai. Ketidakharmonisan bisa disebabkan
oleh berbagai hal antara lain, krisis keuangan, krisis akhlak, dan adanya orang
ketiga. Dengan kata lain, istilah keharmonisan adalah terlalu umum sehingga
memerlukan perincian yang lebih mendetail.
– Krisis moral
dan akhlak
Selain ketidakharmonisan dalam rumah tangga, perceraian juga sering
memperoleh landasan berupa krisis moral dan akhlak, yang dapat dilalaikannya
tanggung jawab baik oleh suami ataupun istri, poligami yang tidak sehat,
penganiayaan, pelecehan dan keburukan perilaku lainnya yang dilakukan baik oleh
suami ataupun istri, misal mabuk, berzinah, terlibat tindak kriminal, bahkan
utang piutang.
– Perzinahan
Di samping itu, masalah lain yang dapat mengakibatkan terjadinya perceraian
adalah perzinahan, yaitu hubungan seksual di luar nikah yang dilakukan baik
oleh suami maupun istri.
– Pernikahan
tanpa cinta
Alasan lainnya yang kerap dikemukakan oleh suami dan istri, untuk
mengakhiri sebuah perkawinan adalah bahwa perkawinan mereka telah berlangsung
tanpa dilandasi adanya cinta. Untuk mengatasi kesulitan akibat sebuah
pernikahan tanpa cinta, pasangan harus merefleksi diri untuk memahami masalah
sebenarnya, juga harus berupaya untuk mencoba menciptakan kerjasama dalam
menghasilkan keputusan yang terbaik.
– Adanya
masalah-masalah dalam perkawinan
Menikah kembali setelah perceraian mungkin menjadi keputusan yang
membingungkan untuk diambil. Karena orang akan mencoba untuk menghindari semua
kesalahan yang terjadi dalam perkawinan sebelumnya dan mereka tidak yakin
mereka bisa memperbaiki masalah yang dialami. Mereka biasanya kurang percaya
dalam diri mereka untuk memimpin pernikahan yang berhasil karena kegagalan lama
menghantui mereka dan membuat mereka ragu-ragu untuk mengambil keputusan.
Lalu hal apa yang akan mempengaruhi peluang untuk menikah setelah bercerai?
Ada banyak faktor. Misalnya seorang wanita muda pun bisa memiliki kesempatan
kurang dari menikah lagi jika dia memiliki beberapa anak. Ada banyak faktor
seperti faktor pendidikan, pendapatan dan sosial.
Sebagai manusia, kita memang mempunyai daya tarik atau daya ketertarikan
yang tinggi terhadap hal-hal yang baru. Jadi, semua hal yang telah kita miliki dan
nikmati untuk suatu periode tertentu akan kehilangan daya tariknya. Misalnya,
Anda mencintai pria yang sekarang menjadi pasangan karena kegantengan,
kelembutan dan tanggung jawabnya. Lama-kelamaan, semua itu berubah menjadi
sesuatu yang biasa. Itu adalah kodrat manusia. Sesuatu yang baru cenderung
mempunyai daya tarik yang lebih kuat dan kalau sudah terbiasa daya tarik itu
akan mulai menghilang pula. Ada kalanya, hal-hal yang sama, yang terus-menerus
kita lakukan akan membuat jenuh dalam pernikahan.
Esensi dalam pernikahan adalah menyatukan dua manusia yang berbeda latar
belakang. Untuk itu kesamaan pandangan dalam kehidupan lebih penting untuk
diusahakan bersama.
E. Alternatif selain
perkawinan
Ada banyak alasan untuk tetap melajang. Perkembangan jaman, perubahan
gaya hidup, kesibukan pekerjaan yang menyita waktu, belum bertemu dengan pujaan
hati yang cocok, biaya hidup yang tinggi, perceraian yang kian marak, dan
berbagai alasan lainnya membuat seorang memilih untuk tetap hidup melajang. Batasan usia untuk menikah kini
semakin bergeser, apalagi tingkat pendidikan dan kesibukan meniti karir juga
ikut berperan dalam memperpanjang batasan usia seorang untuk menikah. Keputusan
untuk melajang bukan lagi terpaksa, tetapi merupakan sebuah pilihan. Itulah
sebabnya, banyak pria dan perempuan yang memilih untuk tetap hidup melajang.
Persepsi
masyarakat terhadap orang yang melajang, seiring dengan perkembangan jaman,
juga berubah. Seringkali kita melihat seorang yang masih hidup melajang,
mempunyai wajah dan penampilan di atas rata-rata dan supel. Baik pelajang pria
maupun wanita, mereka pun pandai bergaul, memiliki posisi pekerjaan yang cukup
menjanjikan, tingkat pendidikan yang baik.
Alasan yang
paling sering dikemukakan oleh seorang single adalah tidak ingin
kebebasannya dikekang. Apalagi jika mereka telah sekian lama menikmati
kebebasan bagaikan burung yang terbang bebas di angkasa. Jika hendak pergi,
tidak perlu meminta ijin dan menganggap pernikahan akan membelenggu kebebasan.
Belum lagi jika mendapatkan pasangan yang sangat posesif dan cemburu.
Banyak
perusahaan lebih memilih karyawan yang masih berstatus lajang untuk mengisi
posisi tertentu. Pertimbangannya, para pelajang lebih dapat berkonsentrasi
terhadap pekerjaan. Hal ini juga menjadi alasan seorang tetap hidup melajang.
Banyak pria
menempatkan pernikahan pada prioritas kesekian, sedangkan karir lebih mendapat
prioritas utama. Dengan hidup melayang, mereka bisa lebih konsentrasi dan fokus
pada pekerjaan, sehingga promosi dan kenaikan jabatan lebih mudah diperoleh.
Biasanya, pelajang lebih bersedia untuk bekerja lembur dan tugas ke luar kota
dalam jangka waktu yang lama, dibandingkan karyawan yang telah menikah.
Kemapanan
dan kondisi ekonomi pun menjadi alasan tetap melajang. Pria sering kali merasa
kurang percaya diri jika belum memiliki kendaraan atau rumah pribadi.
Sementara, perempuan lajang merasa senang jika sebelum menikah bisa hidup
mandiri dan memiliki karir bagus. Mereka bangga memiliki sesuatu yang
dihasilkan dari hasil keringat sendiri. Selain itu, ada kepuasaan tersendiri.
Banyak yang
mengatakan seorang masih melajang karena terlalu banyak memilih atau ingin
mendapat pasangan yang sempurna sehingga sulit mendapatkan jodoh. Pernikahan
adalah untuk seumur hidup. Rasanya tidak mungkin menghabiskan masa hidup kita
dengan seorang yang tidak kita cintai. Lebih baik terlambat menikah daripada
menikah akhirnya berakhir dengan perceraian.
Lajang pun
lebih mempunyai waktu untuk dirinya sendiri, berpenampilan lebih baik, dan
dapat melakukan kegiatan hobi tanpa ada keberatan dari pasangan. Mereka bebas
untuk melakukan acara berwisata ke tempat yang disukai dengan sesama pelajang.
Pelajang
biasanya terlihat lebih muda dari usia sebenarnya jika dibandingkan dengan
teman-teman yang berusia sama dengannya, tetapi telah menikah.
Tidak dapat
dipungkuri, sebenarnya lajang juga mempunyai keinginan untuk menikah, memiliki
pasangan untuk berbagi dalam suka dan duka. Apalagi melihat teman yang seumuran
yang telah memiliki sepasang anak yang lucu dan menggemaskan. Bisa jadi, mereka
belum menemukan pasangan atau jodoh yang cocok di hati. Itulah alasan mereka
untuk tetap menjalani hidup sebagai lajang.
Melajang
adalah sebuah sebuah pilihan dan bukan terpaksa, selama pelajang menikmati
hidupnya. Pelajang akan mengakhiri masa lajangnya dengan senang hati jika telah
menemukan seorang yang telah cocok di hati.
Kehidupan
melajang bukanlah sebuah hal yang perlu ditakuti. Bukan pula sebuah
pemberontakan terhadap sebuah ikatan pernikahan. Hanya, mereka belum ketemu
jodoh yang cocok untuk berbagi dalam suka dan duka serta menghabiskan waktu
bersama di hari tua.
Arus
modernisasi dan gender membuat para perempuan Indonesia dapat menempati posisi
yang setara bahkan melebihi pria. Bahkan sekarang banyak perempuan yang
mempunyai penghasilan lebih besar dari pria. Ditambah dengan konsep pilihan
melajang, terutama kota-kota besar, mendorong perempuan Indonesia untuk hidup
sendiri
Sumber :
- Papalia; Olds & Feldman. (1998). Human development (7th ed.). Boston: McGraw Hill
- http://www.psikologizone.com/cinta-menurut-psikologi/065113807
- http://psikologikita.com/?q=Pemilihan-pasangan
- http://staff.ui.ac.id/system/files/users/liche/material/psikologiperkawinan-liche.pdf
- http://ebookbrowse.com/penyesuaian-perkawinan-pada-pasangan-yang-berbeda-budaya-pdf-d375388109