Kamis, 30 April 2015

Kesehatan Mental : Cinta dan Perkawinan

Cinta Menurut Psikologi

Triangular Theory of Love adalah sebuah teori yang membahas makna, aspek dan jenis-jenis cinta. Teori ini dikemukakan oleh Sternberg dalam jurnal Psychological Review yang berjudul “A triangular theory of love” pada tahun 1986.


Cinta, menurut Teori Segitiga Sternberg, terdiri dari tiga aspek: keintiman, gairah, dan komitmen. Cinta yang sempurna adalah cinta yang memenuhi dari ketiga aspek tersebut. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing aspek.

Gairah (passion) cenderung terjadi pada awal hubungan, relatif cepat dan kemudian beralih pada tingkat yang stabil sebagai hasil pembiasaan. 

Keintiman (intimacy) relatif lebih lambat dan kemudian secara bertahap bermanifestasi sebagai meningkatkan ikatan interpersonal. Perubahan keadaan dapat mengaktifkan keintiman, yang dapat menyebabkan intimacy menurun atau justru semakin naik.

Komitmen (commitment) meningkat relatif lambat pada awalnya, kemudian berjalan cepat, dan secara bertahap akan menetap. Ketika hubungan gagal, tingkat komitmen biasanya menurun secara bertahap dan hilang.

Perkawianan

Pengertian Kehidupan Perkawinan Sebenarnya apakah itu perkawinan? Secara hukum, dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1/1974, bab I, pasal 1 bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

A. memilih pasangan

Proses ini biasanya dimulai ketika mereka mulai memasuki masa usia dewasa muda, yaitu usia 20-an hingga 30-an. Hal ini merupakan suatu tugas perkembangan di masa ini untuk menjalin suatu keintiman, mengembangkan kehidupan yang produktif dan prokreatif, bahkan  menikah dan membentuk keluarga (Erikson dalam Monte & Sollod, 2003).

Pada masyarakat yang memegang kuat nilai-nilai keislaman biasanya tidak memilih pasangan melalui pacaran. Nilai pernikahan dalam Islam sebagai ibadah dan ikatan perjanjian yang kuat di mata Allah menjadikan Islam membatasi tata cara pergaulan antara laki-laki dan perempuan sebelum menikah. Islam melarang pacaran karena akan mendekatkan seseorang kepada hal yang diharamkan Allah sebelum menikah seperti berduaan, melakukan kontak fisik, menumbuhkan perasaan cinta atau emosional dengan yang bukan mahram, yang semuanya dapat berakibat buruk kepada orang itu sendiri (Al-Makassari, 2007). 

Pacaran tidak dilakukan, maka pencarian pasangan biasanya dilakukan melalui ta’aruf dimana seseorang dibantu oleh orang lain atau lembaga yang dapat dipercaya sebagai perantara untuk memilih pasangan sesuai dengan kriteria yang diinginkan sebagai proses awal menuju pernikahan. 
Proses ini dilakukan tanpa interaksi yang intensif antara pasangan dan tidak mengembangkan kelekatan fisik dan emosional sebelum benar-benar masuk ke dalam ikatan pernikahan. Proses ini cenderung berlangsung singkat dan dijalani tanpa diketahui banyak orang (Abdullah dalam Kusumastuti, 2006). 

Pemilihan pasangan dilakukan dengan menilai berbagai macam hal untuk mendapatkan persamaan atau kecocokan. Sebagian besar orang cenderung memilih pasangan yang tidak jauh berbeda usia, pendidikan, agama, kelas sosial, kesukuan, dan sebagainya. Berdasarkan Stimulus-Value-Role Theory (Murstein dalam Bird & Melville, 1994), seseorang biasanya pertama kali tertarik pada calon pasangan melalui penampilan fisik, kedudukan sosial, reputasi, cara berpakaian, dan sebagainya. Kemudian ia mulai mencari kecocokan dalam hal nilai dan sikap terhadap agama, keyakinan, politik, pendidikan, prestasi, isu lingkungan, dan sebagainya. Semakin banyak ketidaksamaan yang ditemui, semakin mungkin hubungan tidak berlanjut. 

Selanjutnya seseorang akan mengevaluasi kecocokan dalam hal peran lawan jenis sebagai pasangan, apakah tipe orang yang mendukung, bertanggung jawab dan sebagainya. Penilaian ini biasanya didasarkan pada harapan dan nilai-nilai seseorang terhadap tipe pasangan dan hubungan pernikahan yang diinginkan. 

Menurut Exchange Theory, pemilihan pasangan juga dapat berlangsung dengan menilai seberapa besar keunggulan dan seberapa kecil kekurangan yang ada pada pasangan dan hubungan yang akan dibina. Enam hal yang biasanya dinilai adalah kasih sayang, status, informasi, uang, harta, dan sikap melayani. Semakin besar keunggulan atau kebaikan yang dapat diperoleh, semakin besar kemungkinan hubungannya berlanjut. Hubungan yang setara biasanya lebih cenderung stabil dan bertahan sepanjang waktu (Foa & Foa dalam Bird & Melville, 1994). 

Interpersonal Process Theory selain menerima dua teori di atas, mengatakan bahwa proses interaksi yang dilalui dan keterbukaan pasangan juga penting dalam pemilihan pasangan (Cate & Lloyd, dalam Bird & Melville, 1994). 

B. Hubungan dalam perkawinan 

Ketika pasangan memasuki kehidupan perkawinan, tidak berarti proses mengenal dan memahami berhenti. Kadang, masa awal perkawinan merupakan masa penyesuaian diri yang menyulitkan bagi pasangan suami-istri baru karena seringkali banyak terjadi hal yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Ketika pacaran dulu, mungkin calon istri tidak mengetahui bahwa calon suaminya tidak suka tidur dengan lampu menyala, padahal si calon istri terbiasa tidur dengan lampu yang terang karena si istri agak penakut. Hal ini bukan tidak mungkin akan sedikit memancing keributan di awal tidur bersama. 

Seringkali, ketika hubungan perkenalan berlanjut menjadi hubungan romantis, pasangan mulai berpikir apakah betul mereka saling mencintai,atau hanya karena tertarik secara fisik, atau karena ‘nyambung’ ketika diajak ngobrol, atau karena merasa menemukan kakak atau adik. Banyak pasangan yang kemudian menyadari bahwa pasangannya adalah pasangan yang tepat untuk menjadi teman bicara, tetapi bukan ‘teman hidup’-nya. 

Pasangan suami-istri yang sejati adalah pasangan yang saling terbuka. Ini berarti, hal penting yang harus selalu ada dalam kehidupan perkawinan adalah komunikasi di antara suami dan istri. Kebanyakan konflik yang muncul pada pasangan suami-istri yang dapat berakhir pada perceraian adalah karena masalah komunikasi. Pada masa berpacaran, biasanya pasangan memiliki khusus khusus untuk selalu berduaan, saling berbagi cerita gembira maupun sedih, serta saling memperbaiki kesalahan. Namun hal yang sama seringkali tidak terjadi ketika pasangan sudah menikah dan memiliki anak. 

Menurut pendapat Dawn J. Lipthrott, LCSW seorang ahli psikoterapis dalam Perkawinan dan Keluarga (18-19: 2010) mengatakan bahwa ada lima tahap perkembangan dalam perkawinan.


Tahapan dalam perkembangan perkawinan memang tidak terlihat signifikan atau jelas dan tahap demi tahap juga tidak terbatas oleh waktu, seperti antar pasangan mempunyai waktu yang berbeda dalam setiap tahapannya. Tetapi yang jelas tahapan ini bisa dirasakan oleh pasangan masing-masing.
Adapun lima tahapannya yaitu sebagai berikut:

Tahap pertama: Romantic
Pada tahapan ini biasanya dirasakan oleh pasangan yang baru saja menikah, setiap saatnya penuh dengan rasa cinta, kasih sayang dan saling mengisi. Hampir setiap harinya dalam tahap ini tidak ada perselisihan yang terjadi. Biasanya mereka juga melakukan kegiatan secara bersama-sama.

Tahap kedua: Dissapointment or distress
Pada tahap kedua ini sudah mulai terjadi perselisihan karena salah satu diantara mereka ada yang merasa paling benar yang pada ahirnya saling menyalahkan, marah, kecewa dan lain sebagainya.
Posisi seperti ini sangat rawan karena pasangan akan mengalihkan perhatiannya pada hal lain seperti menjalin hubungan dengan orang lain yang dirasa nyaman, mengalihkan perhatian sepenuhnya pada pekerjaan, anak dan hal-hal lain sehingga tidak ada waktu untuk bersama lagi.
Bila keadaan ini berlangsung secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama maka akan berakibat pada perceraian.

Tahap ketiga: Knowledge and Awareness
Setelah bisa bertahan pada tahap kedua maka akan masuk pada tahap ketiga, pada tahap ini pasangan akan berusaha untuk saling mengerti dan menghindari terjadinya konflik.
Biasanya kalau pasangan sudah sampai pada tahap ketiga maka mereka akan sering mencari informasi atau cara untuk kebahagiaan rumah tangga kepada siapa saja, bisa tetangga, mengikuti seminar, membaca buku atau mungkin ke psikiater.

Tahap keempat: Transformation
Tahap berikutnya akan mengalami perubahan dikarenakan sudah mendapatkan cara atau kiat-kiat dari pihak lain tentang kebahagiaan rumah tangga.
Sehingga pasangan akan membuktikan bahwa dia adalah pasangan yang terbaik dan tidak salah memilihnya. Pada tahap ini juga sudah terjadi perkembangan pemahaman secara menyeluruh tentang perkawinan.

Tahap kelima: Real Love
Tahap kelima ini hampir seperti pada tahap pertama karena sudah mengerti tentang pemahaman perkawinan secara menyeluruh maka mereka akan saling memberi dan menerima keadaan pasangannya.

Cinta, kasih sayang, saling memahami, saling memberi, saling berbagi, saling mengisi dan saling melengkapi terjadi pada tahap ini. Di tahap ini sudah tidak ada lagi saling menyalahkan dan keegoisan.

C. Penyesuaian dan Pertumbuhan dalam Perkawinan

Perkawinan tidak berarti mengikat pasangan sepenuhnya. Dua individu ini harus dapat mengembangkan diri untuk kemajuan bersama. Keberhasilan dalam perkawinan tidak diukur dari ketergantungan pasangan. Perkawinan merupakan salah satu tahapan dalam hidup yang pasti diwarnai oleh perubahan. Dan perubahan yang terjadi dalam sebuah perkawinan, sering tak sederhana. Perubahan yang terjadi dalam perkawinan banyak terkait dengan terbentuknya relasi baru sebagai satu kesatuan serta terbentuknya hubungan antarkeluarga kedua pihak.
Relasi yang diharapkan dalam sebuah perkawinan tentu saja relasi yang erat dan hangat. Tapi karena adanya perbedaan kebiasaan atau persepsi antara suami-istri, selalu ada hal-hal yang dapat menimbulkan konflik. Dalam kondisi perkawinan seperti ini, tentu sulit mendapatkan sebuah keluarga yang harmonis.

Pada dasarnya, diperlukan penyesuaian diri dalam sebuah perkawinan, yang mencakup perubahan diri sendiri dan perubahan lingkungan. Bila hanya mengharap pihak pasangan yang berubah, berarti kita belum melakukan penyesuaian. Banyak yang bilang pertengkaran adalah bumbu dalam sebuah hubungan. Bahkan bisa menguatkan ikatan cinta. Hanya, tak semua pasangan mampu mengelola dengan baik sehingga kemarahan akan terakumulasi dan berpotensi merusak hubungan.

D. Perceraian dan Pernikahan Kembali

Pernikahan bukanlah akhir kisah indah, namun dalam perjalanannya, pernikahan justru banyak menemui masalah. Banyak dari orang-orang yang menikah pada akhirnya harus bercerai. Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan. Saat kedua pasangan tak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa memintapemerintah untuk dipisahkan.

Faktor penyebab perceraian antara lain adalah sebagai berikut :
–          Ketidakharmonisan dalam rumah tangga
Alasan tersebut di atas adalah alasan yang paling kerap dikemukakan oleh pasangan suami – istri yang akan bercerai. Ketidakharmonisan bisa disebabkan oleh berbagai hal antara lain, krisis keuangan, krisis akhlak, dan adanya orang ketiga. Dengan kata lain, istilah keharmonisan adalah terlalu umum sehingga memerlukan perincian yang lebih mendetail.

–          Krisis moral dan akhlak
Selain ketidakharmonisan dalam rumah tangga, perceraian juga sering memperoleh landasan berupa krisis moral dan akhlak, yang dapat dilalaikannya tanggung jawab baik oleh suami ataupun istri, poligami yang tidak sehat, penganiayaan, pelecehan dan keburukan perilaku lainnya yang dilakukan baik oleh suami ataupun istri, misal mabuk, berzinah, terlibat tindak kriminal, bahkan utang piutang.

–          Perzinahan
Di samping itu, masalah lain yang dapat mengakibatkan terjadinya perceraian adalah perzinahan, yaitu hubungan seksual di luar nikah yang dilakukan baik oleh suami maupun istri.

–          Pernikahan tanpa cinta
Alasan lainnya yang kerap dikemukakan oleh suami dan istri, untuk mengakhiri sebuah perkawinan adalah bahwa perkawinan mereka telah berlangsung tanpa dilandasi adanya cinta. Untuk mengatasi kesulitan akibat sebuah pernikahan tanpa cinta, pasangan harus merefleksi diri untuk memahami masalah sebenarnya, juga harus berupaya untuk mencoba menciptakan kerjasama dalam menghasilkan keputusan yang terbaik.

–          Adanya masalah-masalah dalam perkawinan
Menikah kembali setelah perceraian mungkin menjadi keputusan yang membingungkan untuk diambil. Karena orang akan mencoba untuk menghindari semua kesalahan yang terjadi dalam perkawinan sebelumnya dan mereka tidak yakin mereka bisa memperbaiki masalah yang dialami. Mereka biasanya kurang percaya dalam diri mereka untuk memimpin pernikahan yang berhasil karena kegagalan lama menghantui mereka dan membuat mereka ragu-ragu untuk mengambil keputusan.

Lalu hal apa yang akan mempengaruhi peluang untuk menikah setelah bercerai? Ada banyak faktor. Misalnya seorang wanita muda pun bisa memiliki kesempatan kurang dari menikah lagi jika dia memiliki beberapa anak. Ada banyak faktor seperti faktor pendidikan, pendapatan dan sosial.

Sebagai manusia, kita memang mempunyai daya tarik atau daya ketertarikan yang tinggi terhadap hal-hal yang baru. Jadi, semua hal yang telah kita miliki dan nikmati untuk suatu periode tertentu akan kehilangan daya tariknya. Misalnya, Anda mencintai pria yang sekarang menjadi pasangan karena kegantengan, kelembutan dan tanggung jawabnya. Lama-kelamaan, semua itu berubah menjadi sesuatu yang biasa. Itu adalah kodrat manusia. Sesuatu yang baru cenderung mempunyai daya tarik yang lebih kuat dan kalau sudah terbiasa daya tarik itu akan mulai menghilang pula. Ada kalanya, hal-hal yang sama, yang terus-menerus kita lakukan akan membuat jenuh dalam pernikahan.

Esensi dalam pernikahan adalah menyatukan dua manusia yang berbeda latar belakang. Untuk itu kesamaan pandangan dalam kehidupan lebih penting untuk diusahakan bersama.

E. Alternatif selain perkawinan

Ada banyak alasan untuk tetap melajang. Perkembangan jaman, perubahan gaya hidup, kesibukan pekerjaan yang menyita waktu, belum bertemu dengan pujaan hati yang cocok, biaya hidup yang tinggi, perceraian yang kian marak, dan berbagai alasan lainnya membuat seorang memilih untuk tetap hidup melajang. Batasan usia untuk menikah kini semakin bergeser, apalagi tingkat pendidikan dan kesibukan meniti karir juga ikut berperan dalam memperpanjang batasan usia seorang untuk menikah. Keputusan untuk melajang bukan lagi terpaksa, tetapi merupakan sebuah pilihan. Itulah sebabnya, banyak pria dan perempuan yang memilih untuk tetap hidup melajang.

Persepsi masyarakat terhadap orang yang melajang, seiring dengan perkembangan jaman, juga berubah. Seringkali kita melihat seorang yang masih hidup melajang, mempunyai wajah dan penampilan di atas rata-rata dan supel. Baik pelajang pria maupun wanita, mereka pun pandai bergaul, memiliki posisi pekerjaan yang cukup menjanjikan, tingkat pendidikan yang baik.

Alasan yang paling sering dikemukakan oleh seorang single adalah tidak ingin kebebasannya dikekang. Apalagi jika mereka telah sekian lama menikmati kebebasan bagaikan burung yang terbang bebas di angkasa. Jika hendak pergi, tidak perlu meminta ijin dan menganggap pernikahan akan membelenggu kebebasan. Belum lagi jika mendapatkan pasangan yang sangat posesif dan cemburu.

Banyak perusahaan lebih memilih karyawan yang masih berstatus lajang untuk mengisi posisi tertentu. Pertimbangannya, para pelajang lebih dapat berkonsentrasi terhadap pekerjaan. Hal ini juga menjadi alasan seorang tetap hidup melajang.

Banyak pria menempatkan pernikahan pada prioritas kesekian, sedangkan karir lebih mendapat prioritas utama. Dengan hidup melayang, mereka bisa lebih konsentrasi dan fokus pada pekerjaan, sehingga promosi dan kenaikan jabatan lebih mudah diperoleh. Biasanya, pelajang lebih bersedia untuk bekerja lembur dan tugas ke luar kota dalam jangka waktu yang lama, dibandingkan karyawan yang telah menikah.

Kemapanan dan kondisi ekonomi pun menjadi alasan tetap melajang. Pria sering kali merasa kurang percaya diri jika belum memiliki kendaraan atau rumah pribadi. Sementara, perempuan lajang merasa senang jika sebelum menikah bisa hidup mandiri dan memiliki karir bagus. Mereka bangga memiliki sesuatu yang dihasilkan dari hasil keringat sendiri. Selain itu, ada kepuasaan tersendiri.

Banyak yang mengatakan seorang masih melajang karena terlalu banyak memilih atau ingin mendapat pasangan yang sempurna sehingga sulit mendapatkan jodoh. Pernikahan adalah untuk seumur hidup. Rasanya tidak mungkin menghabiskan masa hidup kita dengan seorang yang tidak kita cintai. Lebih baik terlambat menikah daripada menikah akhirnya berakhir dengan perceraian.

Lajang pun lebih mempunyai waktu untuk dirinya sendiri, berpenampilan lebih baik, dan dapat melakukan kegiatan hobi tanpa ada keberatan dari pasangan. Mereka bebas untuk melakukan acara berwisata ke tempat yang disukai dengan sesama pelajang.
Pelajang biasanya terlihat lebih muda dari usia sebenarnya jika dibandingkan dengan teman-teman yang berusia sama dengannya, tetapi telah menikah.

Tidak dapat dipungkuri, sebenarnya lajang juga mempunyai keinginan untuk menikah, memiliki pasangan untuk berbagi dalam suka dan duka. Apalagi melihat teman yang seumuran yang telah memiliki sepasang anak yang lucu dan menggemaskan. Bisa jadi, mereka belum menemukan pasangan atau jodoh yang cocok di hati. Itulah alasan mereka untuk tetap menjalani hidup sebagai lajang.

Melajang adalah sebuah sebuah pilihan dan bukan terpaksa, selama pelajang menikmati hidupnya. Pelajang akan mengakhiri masa lajangnya dengan senang hati jika telah menemukan seorang yang telah cocok di hati.
Kehidupan melajang bukanlah sebuah hal yang perlu ditakuti. Bukan pula sebuah pemberontakan terhadap sebuah ikatan pernikahan. Hanya, mereka belum ketemu jodoh yang cocok untuk berbagi dalam suka dan duka serta menghabiskan waktu bersama di hari tua.
Arus modernisasi dan gender membuat para perempuan Indonesia dapat menempati posisi yang setara bahkan melebihi pria. Bahkan sekarang banyak perempuan yang mempunyai penghasilan lebih besar dari pria. Ditambah dengan konsep pilihan melajang, terutama kota-kota besar, mendorong perempuan Indonesia untuk hidup sendiri

Sumber :



1 komentar:

 

ayurositana Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang